Jumat, 21 Mei 2010


  1. Nasib Gelandangan iaMenggelandang dibelanda

Mengalami musim dingin 2009 di Belanda kuanggap dinginnya tak berbeda dengan
rasa dingin di 25 tahun yang lalu. Rasa dingin meyengit sampe ke tulang sum-sum.

Dari sisi nilai estetika hujan salju di musim dingin, memang memberi suasana di
luar rumah kelihatan indah dan cantik untuk dinikmati. Di waktu malam hari pun
di taman-taman masih memancarkan cermin keelokannya, pohon-pohon bagaikan
terhias indah gemerlapan di sepanjang bentangan gaun sutra putih bertabur
butiran mutiara.
Hampr semua warga penduduk di Belanda menyempatkan waktu bersama keluarga untuk
jalan-jalan ke taman sembari bermain-main dengan salju.

Pesta natal dan malam tahun baru 2010 pun buat sebagian besar penduduknya
menganggap lebih lengkap rasanya untuk bisa dirayakan bersama anggota
keluarganya, karena suasananya pun menjadi lebih menyenangkan untuk bisa
mengalaminya.

Lalu bagaimana nasib sebagian orang-orang yang bertahun-tahun hidup
menggelandang karena tidak punya rumah atau tidak punya tempat tinggal tetap,
bahkan tanpa punya hubungan kekeluargaan? Udara dingin dan bekunya musim dingin
dengan suhu udaranya sampai 15 derajat di bawah nul selsius buat kaum
gelandangan dimana saja memang benar-benar sengsara dan merana.

***

Untuk mengetahui jumlah kaum gelandangan di Belanda secara hitungan eksak
memang tak pernah diketahui. Tapi kalau kita pergi keluar rumah untuk belanja
ke supermarket terdekat, maka di depan pintu masuk supermarket sudah ada satu
orang yang menawarkan majalah gelandangan "Z- Magazine".

Sang penjual majalah itulah salah satunya dari sekitar 50 ribu orang
gelandangan yang sering kita ketemui di hampir setiap supermarket di kota-kota
besar di Belanda, seperti misalnya di Amsterdam, Den Haag, Rotterdam dan
Utrecht.

Menurut sumber informasi tentang berita kemiskinan dari hasil laporan
penelitian tahun 2007, dinyatakan bahwa tahun 2005 ada 660.000 dari 6,7 juta
rumah tangga yang berpendapatan sebulannya dibawah standart gaji rata-rata.

Dengan kondisi rumah tangganya yang hidup dibawah garis kemiskinan itu,
dianggap tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari selama sebulan.
Dirasakan tekanan hidupnya semakin terjepit dengan setiap bulannya berhutang
100 euro pada banknya.

Akibatnya kategori dari 660 ribu keluarga ini tak mampu lagi membayar sewa
rumah, air, pemakaian listrik dan gas, juga setiap hari tidak bisa makan sehat
yang bergizi, biarpun ada inisiatip penyediaan sembako gratis di 110 tempat
buat kaum miskin itu. Dan nyatanya penyediaan sembako gratis tersebut hanya
mampu menolong 15 ribu keluarga.

Banyak anggota keluarga yang mengalami persoalan krisis perkembangan
sosial-emosional maupun kesehatan fisik dan psykhisnya yang semakin memburuk.
Dengan mengalami persoalan psykhis berat, akhirnya mereka tak mampu mengatur
cara hidup teraturnya.

Terutama untuk golongan berkategori miskin, antara lain karena berpendidikan
rendah, menjadi pecandu alkohol, heroin dan sejenisnya. Juga faktor
diskriminasi terhadap golongan penduduk asing berperan dominan dalam masyarakat
Belanda.

Dengan begitu sekitar 200.000 rumah tangga, yang terutama berasal dari
berpendapatan terendah itu hidupnya di himpit hutang yang semakin membengkak
karena bunga hutangnya. Maka pada tahun 2006 korbannya pun meningkat sampai
377.000 rumah tangga.

***
Persoalan kemiskinan di perkotaan banyak di kecam oleh masyarakat umum,
lantaran dianggap menganggu keamanan dan kenyamanan hidup bermasyarakat.

Pemandangan gelandangan yang menggelandang di jalan-jalan telah mengiasi
kehidupan di perkotaan negara maju ini, katanya tidak lagi menghalalkan tradisi
sistim masyarakat "welfare state" untuk peningkatan "kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat" dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan
sosial.

Kalau kita membaca berita di beberapa surat kabar di Belanda sejak tahun 1996,
pada umumnya isinya selalu mengabarkan tentang ribuan orang di paksa keluar
dari rumah tempat tinggalnya.

Dan sampai antara tahun 2007 dan 2008 diberitakan kaum miskin kota di paksa
keluar dari rumah sewanya berjumlah antara 7.500 sampai 8.100 orang. Akan
tetapi jumlah data tersebut masih dianggap sebagai berita hisapan jempol belaka
karena tak pernah ada data yang jelas mengenai penghitungan total jumlah
keluarga yang kehilangan rumah sewa atau rumah hypotik.

Juga menurut berita koran lokal dari kota Rotterdam, pernah diberitakan bahwa
pada tahun 2006 ada 15 orang gelandangan yang menggelandang tanpa tempat
penginapan, namun pihak Lembaga sosial mengeluh dan memprotes karena masih ada
346 orang yang tidak tertampung di tempat penampungan gelandangan.

Belum lagi di hitung dengan jumlah angka peningkatan kemiskinan akibat krisis
kapital yang telah menggelobal di tahun 2009. Banyak pula mengorbankan kaum
golongan menengah karena kehilangan perkerjaannya.

Hal ini mengakibatkan proses peningkatan perceraian dalam hubungan suami-istri.
Sehingga golongan keluarga menengah ini kehilangan rumah huninya karena tidak
mampu membayar hypotik pada banknya. Dan terpaksalah mereka mencari rumah sewa
atau menggelandang lalu malamnya tidur di tempat-tempat penampungan.

Dengan adanya peningkatan pengangguran golongan menengah ini tentunya akan
menambah jumlah gelandangan di perkotaan maupun di pedesaan. Padahal persoalan
penampungan ribuan keluarga pertahunnya yang terus mengalir deras tak pernah
tertangani secara tuntas.

Dan pemerintahnya dalam menangani proses pengentasan kemiskinan, kebijakannya
seakan-akan seperti "menambal-sulam" tumpukan kain lusuh. Misalnya pihak
Lembaga sosial "Het Leger des Heils" memprotes keras dengan adanya penurunan
30% pada penyediaan fasilitas tempat tinggal buat gelandangan, yaitu dari 21
ribu sampai 14 ribu tempat penampungan di Belanda.

Kalau pun mereka bisa tertampung, maka hanya di ijinkan masuk ke rumah
penampungan dari jam 16.00 sampai keesokan harinya sampai jam 10.00 pagi,
dengan biaya menginap permalam 5 euro sampai 10 euro.

Ironisnya, sejak tahun 1996 tunjangan sosial khusus buat gelandangan oleh
pemerintah di turunkan sampai 200 Euro per bulan, lantaran mereka ini dianggap
tak lagi membayar sewa rumah dan biaya air, listrik dan gas per bulannya.

Dan hanya dengan uang tunjangan sosial sejumlah 400 euro per bulan itu,
dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan sebagai gelandangan
yang menggelandang di pusat kota-kota besar. Dengan cara hidupnya menjadi
pecandu alkolol, heroin dan sejenisnya, tentunya buat membeli kebutuhan makan
sehari-harinya telah menghabisi biaya sekitar 50 euro perharinya.

***

Peningkatan kaum miskin di perkotaan tak hanya menjerat nasib golongan dewasa
atau orang tua, tapi juga banyak mengorbankan golongan remaja berusia antara 14
- 25 tahun.

Tak pernah pula ada kejelasan tentang jumlah total gelandangan berkategori
golongan remaja ini. Pernah di beritakan di surat kabar bahwa ada 8000 remaja
yang tidak tertampung di tempat-tempat penampungan penginapan.

Belum lagi kalau kita menghitung total jumlah golongan remaja ini yang mendapat
penampungan tetap maupun yang hanya mendapat penginapan per malam di berbagai
tempat penampungan.

Dan pada akhirnya golongan remaja yang menggelandang di 4 kota besar ini
terbawa arus dalam kehidupan non-formal atau "Onder wereld", yang dikuasai oleh
jaringan sindikat kejahatan kriminal dan perampokan atau jaringan sindikat
penjualan heroin atau sabu-sabu.

Sehingga peningkatan kejahatan kriminal dan pembunuhan semakin merambah
kehidupan di masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. Misalnya kasus korban
pencopetan atau pemerasan dengan ancaman pistol atau senjata tajam
mengakibatkan luka berat atau meninggal dunia. Juga kasus korban penjarahan di
rumah-rumah tinggal, kantor-kantor bank dan pertokoan sampai tahun 2009
menunjukan peningkatan jumlah korban kematian.

***
Banyak macam cara yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda untuk menanggulangi
soal krisis hidup rakyatnya yang dibawah garis kemiskinan. Terutama kebijakan
penanggulangannya di prioritaskan pada golongan remaja berkategori usia 14
sampai 25 tahun yang sudah terbiasa hidup sebagai gelandangan dengan profesi
kerjanya sebagai kriminal dan merampok.

Dengan biaya uang negara sejumlah 170 juta euro, pihak Pemerintah lokal
bekerjasama dengan berbagai Lembaga Sosial terkait supaya melakukan penanganan
pendampingan secara individual. Dan tahun 2013 persoalan gelandangan golongan
remaja harus dikembalikan sampai ke titik nul. Lalu apakah ambisi harapan pihak
pemerintah Belanda yang bekerjasama dengan pemerintah lokal dan lembaga-lembaga
sosial bisa direalisasi sampai target waktu 2013?

Biasanya anak-anak remaja yang telah tertangani sampai mendapat tempat tinggal
sendiri, lengkap dengan penyediaan kebutuhan hidup minimal dan mendpat
tunjangan sosial.

Akan tetapi mereka ini harus pula dihadapi beban persoalan hutang-hutang dari
masa lalunya, yang jumlah hutangnya tidak sedikit nilai uangnya, misalnya
denda-denda vonis delik kejahatan yang pernah dilakukan ketika masih jadi
gelandangan. Biasanya tagihannya langsung sudah memenuhi kotak pos alamat rumah
tinggalnya.

Juga pada kenyataan sehari-hari persoalan anak-anak remaja yang menjadi anak
jalanan ini pada awalnya terutama disebabkan adanya penyakit trauma berat dan
menjadi agresip lantaran kasus kekerasan dalam rumah tangganya. Dan golongan
anak-anak jalanan ini, tanpa diketahui oleh orang tuanya telah menjadi pecandu
alkohol, heroin dan sejenisnya maupun terlibat kegiatan akltivitas kejahatan
kriminal, misalnya menggarong tempat-tempat pom bensin yang tersebar di seluruh
Belanda.

Sampai pada akhirnya, bila anak-anak jalanan yang termotivasi untuk menjadi
orang baik tapi sebenarnya telah terbiasa dengan cara hidup menggelandang
sampai menjadi kriminal atau penjahat lainnya. Maka setelah melalui proses
waktu tertentu, banyak anak-anak remaja yang sudah membaik itu kembali ke alam
dunia gelandangan yang menggelandang.

Dan orang tuanya pun tak mampu lagi mengontrol kehidupan anak-anaknya karena
menganggap sudah mandiri dan tinggal di luar rumah. Banyak orang tuanya
kemudian menyibukan diri hanya dengan bekerja dan mencari uang demi memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan membeli mobil, rumah dan minimal 2 kali pertahun
berlibur keluar negeri.

Dan banyak pula orang tua yang akhirnya semakin stres berat karena mendapat
tekanan psykhis dan phisiknya karena situasi dalam pekerjaannya. Kemudian
terjerumus pada persoalan pecandu alkohol dan perceraian. Disisi lain para
orang tua tersebut secara sadar pula mengakumulasi hutang-hutangnya melalui
bank karena kebutuhan "kemewahan" nya itu berasal dari pinjaman uang kredit.

Sementara itu anak-anaknya yang sudah merasa mandiri dan nyaman di kehidupan
ekonominya dari pendapatan menggarong dan melakukan tindakan kriminal lainnya,
maka akhirnya mereka kembali menjadi pecandu alkohol, heroin dan sejenisnya.
Dan bekas anak-anak jalanan ini kemudian meninggalkan tempat tinggalnya sendiri
untuk merealisasi kehidupan bebasnya yang berpindah-pindah tempat tinggalnya.
Tentunya maksudnya supaya identitas mereka-mereka ini tidak dilacak oleh pihak
kepolisian.

Tentunya cara hidup yang telah dibangunnya sebagai penjahat kriminal maupun
perampokan tak bisa berlangsung lama lantaran cara hidupnya yang tidak teratur
dan tidak aman buat menyelamatkan dirinya, pada akhirnya terlacak juga oleh
badan keamanan negara.

Dengan cara kehidupannya yang keluar-masuk penjara, makan yang tidak teratur
dan juga dengan kondisi candu alkohol, heroin dan sejenisnya yang semakin
parah. Maka biaya uang negara yang berjumlah 170 juta euro itu digunakan buat
proses penyembuhan dan pemulihan golongan remaja untuk supaya bisa hidup normal
dan kembali ke dalam masyarakat umum, dihadapi pada proses vicius circle
bagaikan menyemai bibit-bibit unggul moral kejahatan di taman labirin.

Nyatanya sampai awal tahun 2010 jumlah kejahatan kriminal dan perampokan di
Belanda semakin meningkat dengan jumlah korban kejahatan terhitung sejak tahun
2003 adalah 3 orang per 100.000 penduduk menjadi 10 orang per 100.000 penduduk.

Kemiskinan dianggap menjadi persoalan struktural, ini terbukti adanya kegagalan
sistim kapitalisme dengan mengandalkan pada kebijakan politik-ekonomi neo
liberalisme di Europa Barat. Belanda merupakan contoh yang dikenal sebagai
negara kecil, berpenduduk padat dengan jumlah pengangguran relatip lebih rendah
bila dibanding dengan Jerman dan Perancis.dyeya's ,2010.